Langsung ke konten utama

Primitive Culture



PRIMITIVE CULTURE
A.    Primitive Culture (Harapan Budaya Terhadap Peran Wanita
Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta budahaya, jamak dari buddhi. Yang berarti budi/ akal. Sehingga kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan  dengan akal/penggunaan rasio. Bentuknya dapat berupa cipta, rasa karsa. Dalam bahasa  Inggris kita mengenal culture yang artinya sama dengan kebudayaan yang berasal daribagasa latin colere; mengerjakan, terutama mengolah tanah, atua berarti alam.
E.B Tylor  (sejarawan) Inggris dalam “Primitive Culture”  mengemukakan kebudayaan adalah merupakan keseluruhan kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan lain serta kebiasaan yang di dapat oleh manusia  sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Prof. Dr. Koentjaraningrat menegaskan bahwa kebudayaan; “Sebagai keseluruhan manusisa dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didaptnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat”. (Noto Widagdo, 2002).
Gender sebagai sebuah alat analisa untuk melihat sejauh mana pola relasi antar peran subjek (lelaki-perempuan) dalam masyarakat melihat budaya sebagai factor yang sangat penting yang mempengaruhi bentuk dan pola hubungan antar subyek tsb. Budaya yang biasa dikatakan sebagai sebutan  identitas yang akan membedakan sekaligus menjadi patokan perilaku sosia suatu masyarakat ternyata bukanlah sebuah produk manusia yang kehadirannya tidak memiliki sebuah alasan tertentu. Hal ini dapat kita lihat dalam fenomena “superioritas laki-laki di berbagai belahan  dunia seperti di Jawa dengan berbagai mitos-mitos yang mengekang kebebasan perempuan, di Mesir ; dengan alasan kehormatan, kehormatan keluarga digantungkan sepenuhnya pada moral  anggota keluarga perempuan, sehingga perempuan disana dikontrol, diawasi, dikawal oleh kakak laki-laki ,suami ataupun ayahnya termasuk didalamnya hak menikmati hubungan seks di renggut dengan penyunatan terhadap perempuan (Neily Van Door Harder, 1999).
Di Meksiko;dimana seorang perempuan merasa lebih baik mati daripada menanggung malu lantra membiarkan seorang lelaki memasak sop kacang (Ivan Illich, 1982). Di India, dimana seorang permpuan kasta rendah bisa terkena eksploitasi ganda dari seorang laki-laki kasta atas dimana di malam pengantin seorang perempuan kasta rendah wajib menghabiskan malam pertamanya sebagai seorang yang telah menikah dengan tuan tanah kelas atas (Kamla Bhasin, 2000). Dan masih banyak kasus serupa yang terjadi di berbagai negara baik yang sudah diketahui ataupun yang belum diketahui.
Bagaimana adat istiadat, tradisi hanya memberikan akses publik (pendidikan, kerjal luar rumah, menjadi kepala/pimpinan dll) kepada laki-laki dan tidak kepada perempuan. Dalam local budaya masyarakat Jawa khiususnya oleh brebagai kalangan disebut penganutr sisitem masyarakat patriarchal menempatkan bapk/laki-laki sebagai pihak pengambil kebijakan, sekaligus sebagai rujukan atas segala keputusan baik yang berpengaruh terhadap laki-laki maupun  perempuan. Pepatah-pepatah Jawa yang sangat mensubordinatkan perempuan begitu ketat disosialisasikan, didoktrinkan kepada masyarakat sebagai sebuah norma yang wajib dilaksanakan seperti : Suwargo nunut Neroko katut, sing penting iso nyambel, yang kemudian menjadi  norma/nilai yang mengikat dan bergarga mati bagi perempuan. Norma semacam ini sepertinya “dijaga” oleh sebuah kekuatan yang sangat besar dan sangat misoginis. Pertanyaanya bukanlah pada mengapa system budaya seperti ini bisa terbentuk tetapi lebih pada mengapa konstruk itu dapat terus bertahan, bahkan mendarah daging selama lebih dari ribuan tahun ? akibat dari adanya system masyarakat yang male oriented yang menyebankan female oriented tersingkir dai praktek-praktek social berskala makro dan memarginalkan mereka pda perilaku yang beruang domestik.
Kesadaran bahwa budaya bukanlah produk yang “statis” dan “jadi” itu yang harus ditanamkan sebelum kita mendekonstruksikan gender dalam wilayah-wilayah budaya. Artinya ada kesempatan yang sangat besar untuk melakukan koreksi dan  konstruksi ulang terdadap sisitem budaya yang ada banyak cara yang bisa dilakukan, diantaranya dengan melakukan pendidikan dan penyebarluasan nilai-nilai dan perilaku social yang tidak diskriminatif dan distingtif bagi laki-laki dan permpuan. Di lain hal harus ada upaya untuk melakukan redefinisi dan reinterpretasi terdapat makna yang beda  dibalik simbol-simbol budaya yang sampai sekarang masih ada dan bersifat misoginis.
Menjadi sebuah mimpi yang indah dan ideal kiranya jika kita dapat mewujudkan kehidupan para warga Duerto Rico (The Duerto  Ricans) tanpa pembedaan laki-laki/perempuan digunakan dalam perilaku masyarakat kita ataupun penciptaan kondisi yang egaliter diantara laki-laki dan perempuan dalam pemilihan peran. Jika Mansour Faqih mengatakan “bahwa sampai sekarang belum ada negara dimana kaum perempuan dan laki-laki menikmati kesetaraan hak dan kesempatan”. Namun jangan hal ini menjadi kelesuan semangat kita dalam upaya keadilan gender diberbagai wilayah  peran dengan proses sharing power sehingga tidak ada satu jenis kelamin yang mendominasi atau tertindas jenis kelamin lainnya.
Harapan lain yang muncul dengan munculnya gerakan fenimisme (perjuangan gender) harus menumbuhkan keberanian dalam diri perempuan untuk memerangi adat dan tradisi usang yang bertentangan dengan tujuan pergerakan, untuk mengubur kebiasaan Jahiliyah dan mendorong untuk mengganti dengan adat, tradisi, nilai-nilai baru yang sesuai dengan keadilan gender sehingga perempuan dapat berpartisipasi dalam proses pembaharuan bukan malah berperan dalam menyebarkan ketidakadilah gender perempuan juga harus dapat menampakkan perbedaan yang jelas antara perempuan yang reformer dan perempuan yang hanya bersolek  dan berpua-pura atau bahkan status quo terhadap  penindasan sistem patriarchal.

B.     Gender Sebagai Alat Analisa
Pembedaan gender (gender differences) seringkali melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities) yang pada umumnya merugikan perempuan. Ketidakadilan gender dapat diidentifikasi dengan berbagai manisfestasi ketidakadilan, misalnya suboordinasi berupa anggapan tidak penting, stereotype/pelabelan negative, tindakan kekerasan dan pelecehan, beban kerja ganda dan marjinalisasi, baik terhadap akses ekonomi maupun akses pengambilan keputusan dan akses politik, yang pada gilirannya berakibat pemiskinan perempuan.
Untuk itu, dalam rangka mainstreaming kepada organisasi masyarakat sipil, khususnya mitra EED German di Indonesia, Kalyanamitra selaku Dewan Koordinator dari sektor gender, bekerjasama dengan DK Insufa mengadakan TOT Analisis Gender. Kegiatan ini diselenggarakan pada tanggal 16-18 Maret 2012 di Jakarta, dengan diikuti oleh 11 organisasi dari seluruh Indonesia yang merupakan mitra dari EED German dan juga masuk sektor gender. Hadir sebagai fasilitator dalam kegiatan selama tiga hari ini adalah Ruth Indiah Rahayu, seorang peneliti tentang isu-isu perempuan.
Dalam TOT tersebut ada 4 analisis yang diperkenalkan yaitu alat analisis menurut Institute Havard, alat analisa menurut Caroline Mosser, alat analisis menurut Naila Kabeer dan alat analisis menurut Sarah Logwe. Keempat alat analisis tersebut mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing. Maka dari itu untuk melengkapinya bisa digunakan saling kombinasi. Analisis Ististute Havard misalnya diciptakan berdasarkan peranan dan pembangian kerja secara gender dalam (1) profil aktivitas produksi, reproduksi, alokasi waktu berdasarkan gender; (2) akses dan control terhadap system produksi dan system reproduksi; (3) analisa factor yang mempengaruhi profil aktivitas dan profil akses dan control. Analisis ini lebih banyak digunakan untuk menggali informasi guna memformulasikan perencanaan program.
Sementara alat analisa pernanan gender menurut Caroline Mosser digunakan untuk menganalisis bagaimana reproduksi hirarki gender tersebut beroperasi dan dapat mendiskripsikan 91) peranan perempuan dan laki-laki di ranah reproduksi, produksi dan komunitas; (2) untuk kepentingan pemberdayaan perempuan khusus maka harus diungkapkan apa kebutuhan praktis dan kepentingan strategisnya; (3) mengenai pengambilan keputusan di dalam keluarga. Alat analisa ini dapat digunakan untuk menggali informasi dasar guna memformulasikan perencanaan program (tentang peranan dan juga untuk memonitor-evaluasi program guna melihat apakah suatu program sudah memenuhi kebutuhan praktis dan strategis (analisa kebutuha).
Dalam proses selama tiga hari tersebut peserta juga mendapatkan tugas untuk menganalisa kegiatan-kegiatan di organisasinya dengan menggunakan keempat alat analisa tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui sejauh mana peserta memahami atas materi yang sudah diberikan. Disamping itu juga untuk melihat sejauh mana perspektif gender telah digunakan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program serta monitoring dan evaluasi. ****(JK)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Abbasiyah

SASTRA ABBASIYAH 1 DAN 2 SERTA KARAKTERISTIKNYA Pada masa Abbasiyah geliat intelektual dan perkembangan peradaban Islam mencapai puncaknya termasuk kajian tentang sastra pada masa ini juga mengalami perkembangan. Bahasa pada masa ini mengalami kemundurn karena asimilasi bangsa Arab dengan ajam yang berpengaruh terhadap kualitas kebahasaan serta sering terjadi kesalahan bahasa. Perluasan wilayah kajian sastra yang tidak hanya pada wilayah syair tetapi juga prosa sehingga memunculkan karya-karya novel, buku-buku sastra, riwayat dan hikayat, serta munculnya genre baru النثرالتجديدي . Kata Kunci : Sastra Abbasiyah, Puisi Abbasiyah 1 dan 2   I.             PENDAHULUAN Al-Iskandary menyatakan bahwa kesusastraan bahasa setiap umat adalah segala prosa dan puisi yang dihasilkan oleh pikiran putra bangsa yang menggambarkan watak dan kebiasaan, daya khayal serta batas kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa yang bertujuan men...

Ingkar Janji Menurut Islam dan Kuhperdeta

INGKAR JANJI MENURUT ISLAM DAN KUHPerdata I. PERJANJIAN MENURUT HUKUM ISLAM Indonesia seakan penuh dengan masalah. Negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, diserang oleh wabah kepalsuan. Dari uang palsu, beras palsu, dokter palsu, sampai pada ijazah palsu, banyak ditemukan. Salah satu yang sedang hangat dibicarakan saat ini adalah janji palsu politisi. Hangatnya pembicaraan janji palsu bukan karena banyaknya janji pemimpin yang tidak ditepati. Namun topik tersebut menjadi hangat ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyepakati bahwa haram (berdosa) hukumnya jika janji kampanye tidak dilaksanakan saat politisi terpilih dan berkuasa. Tentu saja fatwa tersebut membuat politi kebakaran jenggot. Pasalnya hampir semua politisi mengumbar janji pada saat kampanye. Baik pada pemilu legislatif, pemilu presiden, maupun pemilu kepala daerah. Namun setelah terpilih janji tersebut tidak ditepati. Masyarakat akhirnya kecewa karena merasa telah ditipu oleh politisi yang dipilihnya. F...

Teori Super

Teori Perkembangan Karir Anak (Teori Super) BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Menurut Donald E. Super (Dewa. K.S, 1987:65) bahwa kematangan bekerja dan konsep diri ( selft-concept ) merupakan dua proses perkembangan yang berhubungan. Maksudnya adalah bahwa tingkat kematagan bekerja itu saling berhubungan. Apabila konsep diri seseorang itu baik, maka kematangan kerjanya pun juga baik. Dalam perkembangan anak-anak ada pula pekerjaan yang disesuaikan dengan umur dan tingkat dengan kematangan emosinya. Yang mana dalam teori super terdapat 6 fase perkembangan karir pada manusia. Salah satunya adalah fase Growth .   Dalam fase ini dijelaskan bahwa terhitung sejak anak lahir sampai lebih kurang umur 15 tahun. Pada fase ini anak sedang mengembangkan berbagai poten, pandangan khas, sikap, minat dan kebutuhan-kebutuhan yang dipadukan dalam struktrur gambaran diri. Jadi untuk lebih mengetahui lebih lanjut tentang perkembangan karir pada anak-anak maka kami...