Langsung ke konten utama

Ingkar Janji Menurut Islam dan Kuhperdeta

INGKAR JANJI MENURUT ISLAM DAN KUHPerdata

I. PERJANJIAN MENURUT HUKUM ISLAM
Indonesia seakan penuh dengan masalah. Negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, diserang oleh wabah kepalsuan. Dari uang palsu, beras palsu, dokter palsu, sampai pada ijazah palsu, banyak ditemukan. Salah satu yang sedang hangat dibicarakan saat ini adalah janji palsu politisi. Hangatnya pembicaraan janji palsu bukan karena banyaknya janji pemimpin yang tidak ditepati. Namun topik tersebut menjadi hangat ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyepakati bahwa haram (berdosa) hukumnya jika janji kampanye tidak dilaksanakan saat politisi terpilih dan berkuasa.

Tentu saja fatwa tersebut membuat politi kebakaran jenggot. Pasalnya hampir semua politisi mengumbar janji pada saat kampanye. Baik pada pemilu legislatif, pemilu presiden, maupun pemilu kepala daerah. Namun setelah terpilih janji tersebut tidak ditepati. Masyarakat akhirnya kecewa karena merasa telah ditipu oleh politisi yang dipilihnya.

Fatwa haram terhadap janji kampanye merupakan salah satu keputusan yang disepakati mayoritas ulama pada Ijtimak ke 5 MUI yang dilaksanakan pada Senin, 8 Juni 2015. Dalam ijtimak yang dibuka oleh Wakil Presiden M. Yusuf Kalla, para ulama menghimbau agar masyarakat tidak memilih pemimpin yang tidak menepati janji (janji palsu) apabila mencalonkan diri kembali.

Menurut Ketua Tim Perumus Komisi A Muh Zaitun Rasmin, janji-janji para calon pemimpin yang tidak ditepati hukumnya haram.
“Memenuhi segala janji yang pernah diucapkan itu hukumnya wajib, sebaliknya mengingkari janji itu haram,” ujar Zaitun dalam acara Ijtima Ulama MUI yang membahas janji-janji pemimpin di Tegal, Jawa Tengah, Rabu (10/6).

Anggota Komis VIII DPR RI Sodik Mudjahid sependapat dengan fatwa yang akan dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), perihal janji politik harus mendapat sanksi politik apabila tidak ditepati. Karena MUI tengah mendorong sanksi menjadi sanksi hukum, hal itu terkait janji-janji politik para pejabat negara dan anggota legislatif saat kampaye politik.

Berjanji menurut Islam adalah boleh (jaiz) atau disebut juga dengan mubah. Tetapi hukum memenuhi atau menepatinya adalah wajib. Melanggar atau tidak memenuhi janji adalah haram dan berdosa. Berdosanya itu bukan sekadar hanya kepada orang yang kita janjikan tetapi juga kepada Allah swt. Antara lain terkait dengan dosa terhadap janji yang tidak dilaksanakan, sebagaimana Firman Allah dalam Al-Quran :
1. Surat An-Nahl, ayat 91: “Dan tepatilah perjanjianmu apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
2. Surat An-Nisa, ayat 120: “Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.”
3. Surat Al-Mukminun. "Telah beruntunglah orang-orang beriman, yaitu orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya.”
4. Surat Al-Isra ayat 34: "dan penuhilah janji Allah.’" (QS. Al-An’am: 152)Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.’
5. Sabda Rasulullah: “Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dalil tersebut telah cukup membenarkan fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Bahwa setiap orang wajib memenuhi janjinya dan berdosa bagi setiap orang yang ingkar terhadap janji yang telah disampaikannya baik secara tertulis maupun secara lisan, tidak terkecuali janji politisi yang disampaikan dalam kampanye.

Jika demikian halnya, bagaimana terhadap seorang pemimpin yang membuat janji sekaligus tidak ditepati, sedang janji tersebut disampaikan sekaligus diingkari pada saat sedang berkuasa?. Tentu tidak ada keraguan akan keharamannya. Islam juga mengingatkan ummatnya untuk tidak menaati pemimpin yang ingkar janji. Artinya hukum haram bukan saja memilih kembali dalam pemilu yang diikutinya, namun juga haram menaati pada saat ia sedang memimpin. Ali radhiallahu anhu berkata: Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Sama sekali tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan, ketaatan itu hanya dalam perkara kebaikan.” (HR. Al-Bukhari no. 6716 dan Muslim no. 3424)

Pemahaman tersebut juga disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, KH Ma’ruf Amin dalam diskusi Publik Pra Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI Se Indonesia Ke-5, di Kantor MUI Pusat Jakarta, Kamis (04/06). "Bahwa jika pemimpin melakukan sesuatu yang bertentangan dengan agama, maka haram taat pada pemimpin tersebut".

II. PERJANJIAN MENURUT HUKUM PERDATA
Suatu perjanjian terbentuk karena adanya pernyataan kehendak dari para pihak dan tercapai kata sepakat di antara mereka yang kemudian dituangkan dalam bentuk kata-kata lisan atau tulisan, sikap, maupun tindakan.

Belum tentu pihak-pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian memiliki pola pikir yang sama. Penafsiran perjanjian sangat diperlukan apabila para pihak memiliki pola pikir yang saling bertentangan. Karena apabila mereka bersikukuh terhadap pola pikirnya masing-masing, perjanjian tersebut akan menjadi sulit untuk dilaksanakan.

Menurut Asser dan Hartkamp, penafsiran perjanjian adalah: menentukan pengertian dari pernyataan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih; pemaknaan tersebut mempunyai hubungan dengan keadaan dari suatu peristiwa nyata yang berkaitan dengan dan karenanya menentukan apa akibat hukum yang muncul dari pernyataan-pernyataan tersebut.

Sebenarnya, tidak ada kata-kata yang terdapat dalam suatu perjanjian yang dengan sendirinya jelas. Arti suatu kata barulah jelas setelah ditafsirkan. Namun sebagian besar perjanjian yang terdapat di dalam masyarakat adalah perjanjian yang bersifat sederhana. Sehingga proses penafsiran berjalan dengan sendirinya, tanpa diperlukan perhatian khusus.

Penafsiran perjanjian menjadi penting apabila isi dari perjanjian menimbulkan keraguan bagi salah satu atau seluruh pihak yang terlibat dalam perjanjian.

Lalu siapakah yang memiliki kewajiban untuk melakukan penafsiran terhadap suatu perjanjian? Yang pertama kali harus melakukan penafsiran terhadap suatu perjanjian adalah pihak-pihak yang membuat perjanjian. Apabila  terdapat perbedaan pendapat di antara mereka, maka hakimlah yang bertugas untuk membantu para pihak dalam menafsirkan perjanjian yang telah mereka buat.

Ketentuan-ketentuan mengenai penafsiran perjanjian dapat ditemukan dalam Pasal 1342 – Pasal 1351 KUH Perdata yang menentukan sebagai berikut:

1. Apabila kata-kata suatu perjanjian jelas, maka tidak diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran (Pasal 1342 KUH Perdata);

2. Apabila kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka harus diselidiki maksud maksud para pihak yang membuat perjanjian tersebut, daripada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf (Pasal 1343 KUH Perdata);

3. Apabila suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang sedemikian rupa yang memungkinkan janji tersebut dilaksanakan, daripada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan (Pasal 1344 KUH Perdata);

4. Apabila kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selarang sengan sifat perjanjian (Pasal 1345 KUH Perdata);

5. Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat dimana perjanjian telah dibuat (Pasal 1346 KUH Perdata);

6. Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan (Pasal 1347 KUH Perdata);

7. Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian, harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya (Pasal 1348 KUH Perdata);

8. Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian mereka yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal, dan untuk keuntungan orang yang telah mengakibatkan dirinya untuk itu (Pasal 1349 KUH Perdata);

9. Meskipun bagaimana luasnya kata-kata dalam mana suatu perjanjian disusun, namun perjanjian itu hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan oleh kedua belah pihak sewaktu membuat perjanjian (Pasal 1350 KUH Perdata);

10. Jika seorang dalam suatu perjanjian menyatakan suatu hal untuk menjelaskan perikatan, tak dapatlah ia dianggap bahwa dengan demikian hendak mengurangi maupun membatasi kekuatan perjanjian menurut hukum dan hal-hal yang tidak dinyatakan (Pasal 1351 KUH Perdata).

Janji menurut perdata dipandang sah sebagaimana tersebut dalam Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata apabila terpenuhi 4 (empat) unsur yaitu :
1. Sepakat untuk mengikatkan diri
Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mngadakan hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.
3. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian.
Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan. Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.
4. Sebab yang halal Sebab
ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban.

Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.

Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian.

Dalam hukum KUHPerdata, apabila para pihak yang telah membuat kesepakatan atau perjanjian, tidak melaksanakannya, atau hanya dapat melaksanakan sebagiannya disebut "wanprestasi"

Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian.
Menurut J Satrio: “Suatu keadaan di mana debitur tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya”.

Yahya Harahap: “Wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya, sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.

Dikatakan Wanprestasi terhadap para pihak yang terikat dalam suatu kesepakatan atau perjanjian apabila:
a. Melaksanakan tetapi tidak tepat waktu (terlambat);
b. Melaksanakan tetapi tidak seperti yang diperjanjikan; dan
c. Debitur melaksanakan yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Terhadap pihak yang merasa dirugikan yang disebabkan oleh adanya pihak dalam perikatan disebut "kreditur". Sedangkan pihak yang tidak melaksanakan kesepakatan/perjanjian "debitur"

Negara melindungi warganya (kreditur) yang merasa dirugikan oleh debitur. KUHPerdata mengatur langkah-yang dapat dilakukan oleh kreditur yaitu dengan membuat "somasi" sebagaimana terdapat dalam Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata.

Somasi berarti peringatan tertulis yang diberikan oleh kreditur pada debitur. Somasi minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditor. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditor berhak membawa persoalan itu ke pengadilan.

Pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitor wanprestasi atau tidak. Apabila pengadilan memutuskan adanya wanprestasi oleh debitor, maka ada akibat hukum yang dapat dijatuhkan. Akibat hukum dari debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi berupa:

1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur (ganti rugi);
2. Pembatalan perjanjian;
3. Peralihan resiko. Benda yang dijanjikan obyek perjanjian sejak saat tidak dipenuhinya kewajiban menjadi tanggung jawab dari debitur;
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.

Disamping debitur harus menanggung hal tesebut diatas, maka yang dapat dilakukan oleh kreditur dalam menghadapi debitur yang wanprestasi ada lima kemungkinan sebagai berikut (Pasal 1276 KUHPerdata):
1. Memenuhi/melaksanakan perjanjian;
2. Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;
3. Membayar ganti rugi;
4. Membatalkan perjanjian; dan
5. Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.


III. KESIMPULAN

Fatwa MUI terhadap janji politisi saat kampanye haram dan berdosa apabila diingkari, tentu mengundang pro kontra. Persoalannya MUI mengajak masyarakat untuk tidak memilih calon pemimpin yang ingkar janji apabila mencalonkan diri kembali. Hal ini kontra produktif dengan fatwa yang pernah dikeluarkan sebelumnya yaitu menjelang pemilu 2009 yang lalu.

Menjelang pemilu 2009 yang lalu, MUI mengeluarkan fatwa "haram golput". Pertanyaan kemudian bagaimana jika dalam pemilu nanti yang ada adalah calon yang pernah ingkar janji pada pemilu sebelumnya?. Tentunya dalam kondisi yang demikian fatwa "haram golput" perlu dicabut kembali.

Terlepas dari kontradiksi antara kedua fatwa tersebut, ingkar janji terutama oleh pemimpin "haram" hukumnya. Bahkan bagi pemimpin yang demikian haram masuk surga. Hal ini sebagaimana Hadis Rasul yang diriwayatkan Muslim sebagai berikut:

حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ عَادَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ لِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

Barangsiapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan Surga atasnya'. [HR. Muslim No.203].

Sedangkan menurut hukum perdata tidak melaksanakan kesepakatan/janji dikenal dengan istilah wanprestasi. Jika pengadilan memutuskan telah terjadi wanprestasi oleh kreditur, maka dapat dituntut ganti rugi baik dalam bentuk moril maupun materil.

















Berdosa bagi pemimpin yang tidak melaksanakan janji kampanyenya, dan tidak boleh dipilih kembali. Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan memberikan tausyiah bagi pemimpin yang mengingkari janji dan sumpahnya. Demikian fatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa terkait pemimpin yang mengingkari janjinya.
Pemimpin yang melakukan kebijakan untuk melegalkan sesuatu yang dilarang agama atau melarang sesuatu yang diperintahkan agama, maka kebijakannya itu tidak boleh ditaati.
Calon pemimpin publik dilarang berjanji untuk menetapkan kebijakan yang menyalahi ketentuan agama. Dan jika calon pemimpin itu berjanji yang menyalahi ketentuan agama, maka haram dipilih. Bila ternyata dipilih, maka janji tersebut, hendaknya tidak ditunaikan.
Calon pemimpin yang menjanjikan sesuatu kepada orang lain sebagai imbalan untuk memilihnya, maka hukumnya haram, karena termasuk dalam kategori risywah (suap).
Beritanya sebagai berikut.
***
Fatwa MUI: Pemimpin Ingkari Janji Hukumnya Haram
Inilah Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI Se-Indonesia

CALON pemimpin yang berjanji untuk melaksanakan suatu kebajikan (ada kemaslahatan dan sesuai syariah), wajib menunaikan janjinya. Mengingkari janji saat Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada), Pemilihan Presiden (Pilpres), maupun pemilihan anggota legislatif, hukumnya haram.
Demikian fatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia ke V di Pondok Pesantren At-Tauhidiyah di Desa Cikura, Bojong, Tegal. Dasar penetapan tim perumus Komisi A yang diketuai Muhammad Zaitun Rasmin Lc. M.A ini bersumber dari Al Qur’an dan Hadits Nabi saw, serta pendapat para ulama.
Fatwa ulama menegaskan, setiap calon pemimpin publik, baik legislatif, yudikatif, maupun eksekutif, harus memiliki kompetensi dan kemampuan dalam menjalankan amanah tersebut. Karena itu, dalam mencapai tujuannya, calon pemimpin publik tidak boleh mengumbar janji untuk melakukan perbuatan di luar kewenangannya.
Seperti diketahui, jabatan adalah amanah yang pasti dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. Meminta atau merebut jabatan merupakan hal yang tercela, apabila bagi orang yang tidak punya kapabilitas yang memadai dan kompeten.
Selanjutnya, calon pemimpin publik dilarang berjanji untuk menetapkan kebijakan yang menyalahi ketentuan agama. Dan jika calon pemimpin itu berjanji yang menyalahi ketentuan agama, maka haram dipilih. Bila ternyata dipilih, maka janji tersebut, hendaknya tidak ditunaikan.
Kemudian, calon pemimpin yang menjanjikan sesuatu kepada orang lain sebagai imbalan untuk memilihnya, maka hukumnya haram, karena termasuk dalam kategori risywah (suap).
Fatwa berikutnya terkait hal itu, pemimpin yang melakukan kebijakan untuk melegalkan sesuatu yang dilarang agama atau melarang sesuatu yang diperintahkan agama, maka kebijakannya itu tidak boleh ditaati.
Pemimpin publik yang melanggar sumpah atau tidak melaksanakan tugas-tugasnya, harus dimintai pertanggungjawabannya dan diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdosa bagi pemimpin yang tidak melaksanakan janji kampanyenya, dan tidak boleh dipilih kembali. Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan memberikan tausyiah bagi pemimpin yang mengingkari janji dan sumpahnya. Demikian fatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa terkait pemimpin yang mengingkari janjinya.
Islampos.com, Rabu 22 Syaaban 1436 / 10 Juni 2015 10:46
***
Inilah Hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia
Rabu 22 Syaaban 1436 / 10 Juni 2015 10:13
AKHIRNYA Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015 di Pesantren At Tauhidiyah, sejak 7-10 Juni 2015 akhirnya ditutup, Selasa (9/6/2015). Ada sejumlah fatwa yang dihasilkan dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015 di Pesantren At Tauhidiyah, sejak 7-10 Juni 2015. Masing-masing terbagi dalam tiga komisi.
Untuk Komisi A membahas tentang Masail Asasiyyah Wathaniyyah(Masalah Strategis kebangsaan, meliputi: Kedudukan Pemimpin yang tidak menepati janji, kemudian soal kriteria pengkafiran (Dhabit At-Takfir), radikalisme agama dan penanggulangannya, pemanfaatan tanah untuk kesejahteraan umat dan bangsa, penyerapan hukum Islam ke dalam hukum nasional.
Sedangkan Komisi B membahas tentang Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah (Masalah Fikih Kontemporer). Komisi B terbagi dua (Komisi B1 dan Komisi B2). Komisi B1 meliputi: Haji berulang, hukum membangun masjid berdekatan, imunisasi, hak pengasuhan anak bagi orang tua yang bercerai karena berbeda agama.
Komisi B2  dibahas panduan jaminan kesehatan nasional dan BPJS Kesehatan, Status hukum iuran dan manfaat pensiun hubungannya dengan Tirkah, dan Istihalah.
Kemudian Komisi C membahas Masail Qanuniyah (Masalah hukum dan perundang-undangan), meliputi: pornografi dan prostitusi online, eksekusi hukuman mati bagi terpidana narkoba, pajak jangan membebani rakyat, pembentukan komite nasional ekonomi syariah, rekrutmen pimpinan KPK periode 2015-2019, pentingnya dasar hukum pemakaian jilbab bagi prajurit Korp wanita TNI, pengawasan penggunaan dana desa.
Fatwa yang dihasilkan dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa, terlebih dulu dibahas dalam sidang-sidang komisi melalui tim perumus, yang kemudian diputuskan dalam rapat pleno. Pimpinan rapat pleno, sekaligus penutupan, dipimpin oleh KH. Ma’ruf Amin, Amirsyah Tambunan, KH. Cholil Ridwan, Prof.Dr. KH. Hasanuddin AF. [Desastian/Islampos]
(nahimunkar.com)   https://www.nahimunkar.org/inilah-hasil-ijtima-ulama-mui-soal-pemimpin-yang-ingkar-janji-arsip/

HUKUM MEMENUHI JANJI DAN INGKAR JANJI 

Assalamu'alaikum.......
Salam hormat kepada Dewan Pengasuh (Pimpinan) dan Majelis Fatwa Pondok Pesantren Al-Khoirot Malang.

Saya mau berkonsultasi masalah janji. Saya sudah sering mendengar istilah bahwa "janji adalah hutang", dan yang namanya hutang itu harus dilunasi. Hari Rabu kemarin, saya berjanji pada teman saya, bahwa hari Kamis esoknya saya akan mengantar dia pergi ke suatu tempat. Besoknya, hari Kamis saya harus menghadiri suatu acara penting di sekolah. Malamnya, saya baru ingat kalau saya kemarin sudah berjanji akan mengantar teman saya pergi ke suatu tempat. Jadi, hari Kamis itu saya tidak bisa melaksanakan janji saya.

Yang saya tanyakan itu:
1. Apakah saya berdosa karena tanpa sengaja telah melupakan janji saya?
2. Apakah kafarat yang harus dibayar?
3. Dapatkah janji tersebut dilaksanakan di lain hari?

Sekian. Terima Kasih Wassalamu'alaikum.

TOPIK KONSULTASI ISLAM
  1. HUKUM INGKAR JANJI


JAWABAN

1. Ulama sepakat bahwa janji itu berbeda dengan nazar. Namun, ulama berbeda pendapat tentang apakah memenuhi janji itu wajib yang berarti berdosa kalau ingkar janji; atau sunnah yang berarti tidak apa-apa kalau janji tidak dilaksanakan. Mayoritas (jumhur) ulama dari keempat mazhab berpendapat memenuhi janji itu hukumnya sunnah.


Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari ala Sahih al-Bukhari, hlm. 5/290 menyatakan: 
قوله: باب من أمر بإنجاز الوعد . وجه تعلق هذا الباب بأبواب
الشهادات أن وعد المرء كالشهادة على نفسه . قاله الكرماني ، وقال المهلب : إنجاز الوعد مأمور به مندوب إليه عند الجميع وليس بفرض لاتفاقهم على أن الموعد لا يضارب بما وعد به مع الغرماء . اهـ . ونقل الإجماع في ذلك مردود فإن الخلاف مشهور لكن القائل به قليل .

وقال ابن عبد البر وابن العربي : أجل من قال به عمر بن عبد العزيز . وعن بعض المالكية : إن ارتبط الوعد بسبب وجب الوفاء به وإلا فلا ،


Artinya: Bahwa janji seseorang itu bagaikan kesaksian atas dirinya, demikian menurut Al-Kirmani. Al-Mihlab menyatakan bahwa memenuhi janji itu diperintahkan dan disunnahkan bagi semua muslim tapi tidak diwajibkan.

Ibnu Abdil Bar dan Ibnul Arabi berkata bahwa pendapat yang mewajibkan pelaksanaan janji antara lain Umar bin Abdul Aziz. Sebagian ulama mazhab Maliki berkata: Apabila janji itu berkaitan dengan sebab tertentu maka wajib dipenuhi, apabila tidak maka tidak wajib. 

2. Tidak ada kafarat yang harus dibayar. Namun sangat dianjurkan untuk melaksanakan janji karena ada perintah Nabi dan etika sosial. Oleh karena itu dianjurkan untuk meminta maaf pada orang yang diberi janji atas kehilafannya.

3. Bisa saja janji dilaksanakan di lain hari sesuai dengan kesepakatan dengan orang yang diberi janji.

URAIAN

PENDAPAT BAHWA JANJI ITU WAJIB DIPENUHI DAN HARAM DIINGKARI

Ibnu Syubromah termasuk ulama yang berpendapat bahwa menepati janji itu hukumnya wajib dan berdosa bagi yang ingkar janji.

Ini juga pendapat dari Umar bin Abdul Aziz, Hasan Al-Bashri, Ishaq bin Rahawiyah dan Dzahiriyah. Pendapat ini berdasarkan dalil-dalil Quran dan hadis antara lain:

(a) QS Al-Maidah 5:1 "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu." 
(b) As-Shaf :2 "Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?"
(c) Hadis sahih tentang tanda-tanda orang munafik riwayat Bukhari & Muslim Nabi bersabda: [ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاثٌ : إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ , وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ , وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ ] Artinya: Tanda orang munafik itu ada tiga: apabila berbicara ia dusta, apabila janji ia ingkar, apabila diberi amanah ia khianat.
(d) Hadits riwayat Tirmidzi Nabi bersabda: [لا تمار أخاك ولا تمازحه ، ولا تعده موعدا فتخلفه] Artinya: Janganlah engkau memutuskan perkataan Saudaramu (jangan mengajak berbantah-bantahan ) dan janganlah memperolok-olokannya, dan janganlah engkau berjanji kepadanya kemudian engkau tidak memenuhinya (Lihat, Al-Mahalli, 8/28).
(e) Hadits riwayat Bukhari, Nabi bersabda:

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

Artinya: Empat hal bila ada pada seseorang maka dia adalah seorang munafiq tulen, dan barangsiapa yang terdapat pada dirinya satu sifat dari empat hal tersebut maka pada dirinya terdapat sifat nifaq hingga dia meninggalkannya. Yaitu, jika diberi amanat dia khianat, jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari dan jika berseteru curang.

Sedangkan mazhab Maliki berpendapat wajib dan sunnah tergantung konteks: apabila orang yang diberi janji itu akan mendapat kemudaratan apabila janji tidak dipenuhi, maka wajib dipenuhi janjinya. Apabila tidak berbahaya bagi yang diberi janji, maka tidak wajib menepatinya, dan menjadi sunnah (lihat, Al-Furuq, 4/25). 

PENDAPAT BAHWA JANJI ITU SUNNAH (TIDAK WAJIB) DIPENUHI

Tiga mazhab fikih yaitu Hanafi, Syafi'i dan Hanbali dan sebagian dari mazhab Maliki berpendapat bahwa menepati janji hukumnya sunnah dan tidak wajib. Ingkar janji hukumnya makruh. Dengan demikian dalil-dalil tentang motivasi memenuhi janji dan ancaman bagi pelanggar janji dianggap sebagai himbauan. 

Dalil teks (nash) yang dipakai adalah:
(a) QS An-Najm :37 "dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?"
(b) Pujian kepada Nabi Ismail dalam QS Maryam :54 "Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi." (Lihat, Al-Mahalli, 8/28).

BEDA ANTARA JANJI DAN NAZAR 

Alasan utama mengapa janji tidak ada kafaratnya apabila dilanggar adalah karena janji bukan nazar. Berikut perbedaan antara janji dan nazar: 

- Nazar itu adalah seseorang mewajibkan dirinya melakukan kebaikan (yang bukan fardhu) dengan tujuan ibadah pada Allah semata. Sedangkan janji tidak mengaitkannya pada Allah.

- Nazar harus diucapkan secara lisan yang mengandung arti wajib. Sedangkan janji tidak mengandung pengertian wajib tersebut (lihat: Ar-Romli dalam Nihayatul Muhtaj, 8/221). 

- Contoh kalimat nazar: (a) Apabila Allah menyembuhkan sakitku, maka karena Allah wajib bagiku merenovasi masjid A (nama masjid) atau Aku bernazar karena Allah untuk merenovasi masjid A apabila sakitku sembuh. (b) Contoh kalimat janji: Apabila Allah menyembuhkan sakitku, maka aku akan membangun masjid A (nama masjid).

Baca detail: 
Nazar dalam Islam

KESIMPULAN

Memenuhi janji adalah nilai kebaikan yang diakui secara universal. Orang yang berjanji harus berusaha keras untuk memenuhinya dan jangan berjanji kalau tidak bisa menepati (don't promise if you can't keep). Karena ingkar janji akan mendegradasi reputasi, nama baik dan integritas si pemberi janji. Apakah ingkar janji itu berdosa? Jawabnya, tidak berdosa dalam artian tidak dikenakan hukuman bayar kafarat. Akan tetapi dari segi dia telah melakukan kebohongan, maka hukumnya berdosa. 












Hukum Menepati Janji
“Tanda orang munafik itu ada tiga: apabila dia berucap dia berdusta, apabila membuat janji dia mengingkari, dan apabila diamanahi dia mengkhianati.” (HR Al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59)

Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJ3a3GXhfgMJhX0JJ1KhW2WepQfa5ymzAkaJMjx7bzVKrF98oZ5SY-k4ugKrMNSwE0BpjSq3sX8G7Bgbf_twm3aZPT_tiu3MDTJ31nVy9yxEwfw3JScAfjY9meFOEFbm9XocgRGIqJhySr/s400/Berjanji.jpg


Janji merupakan suatu hal yang sudah umum di masyarakat dan sangat lumrah, baik itu dalam kehidupan bertetangga bahkan sampai bernegara. Ketika disebutkan kata janji, maka yang ada dalam pikiran kita umumnya adalah menepatinya atau tidak menepatinya. Menepati janji merupakan sebuah akhlak yang sangat mulia, akan tetapi ingkar janji merupakan suatu akhlak yang buruk dan pelakunya dihukumi memiliki tanda sebagai orang yang munafik.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda orang munafik itu tiga apabila dia berucap dia berdusta, jika membuat janji dia mengingkari, dan jika diamanahi dia mengkhianati” (HR Al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59)

Sebelumnya, perlu diketahui bahwa janji tidaklah sama dengan sumpah dan nazar. Mengenai definisi janji, Syaikh Abu Ath-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-A’zhim rahimahullah berkata:

الوعد: هو التعهد بفعل الخير في المستقبل، كأن يقول الرجل لصاحبه : "أعدك بهدية" أو "أعدك بالذهاب معك إلى الدرس" ونحو ذلك

“Janji adalah suatu kesepakatan kepada orang lain dalam bentuk pekerjaan yang baik (yang akan dikerjakan) di masa yang akan datang, sebagaimana perkataan seseorang kepada sahabatnya: ‘aku akan memberimu hadiah’ atau ‘aku akan pergi bersamamu untuk belajar’ dan lain sebagainya.” (‘Aunul Ma’bud, Jilid 12 hal. 289)

Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa janji itu tak sama dengan sumpah dan nazar, maka ulama berbeda pendapat tentang apakah memenuhi janji itu wajib yang berarti berdosa kalau ingkar janji atau mustahab yang berarti tidak apa-apa kalau janji tidak dilaksanakan. Mengenai hal ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata dalam Fathul Bari, Bab mengenai perintah menepati janji:

الشهادات أن وعد المرء كالشهادة على نفسه . قاله الكرماني ، وقال المهلب : إنجاز الوعد مأمور به مندوب إليه عند الجميع وليس بفرض لاتفاقهم على أن الموعد لا يضارب بما وعد به مع الغرماء . اهـ . ونقل الإجماع في ذلك مردود فإن الخلاف مشهور لكن القائل به قليل .
وقال ابن عبد البر وابن العربي : أجل من قال به عمر بن عبد العزيز . وعن بعض المالكية : إن ارتبط الوعد بسبب وجب الوفاء به وإلا فلا

“Janji seseorang itu seperti persaksian atas dirinya sendiri, demikianlah perkataan Al-Kirmani, Al-Mihlab berkata: Memenuhi janji itu diperintahkan dan mandub (sunnah) bagi setiap orang, akan tetapi tidak diwajibkan untuk memenuhi janji atas apa yang telah dijanjikan kepada seseorang yang telah dijanjikan. Dan kesepakatan mengenai hal ini telah dinukil namun tertolak, karena sesungguhnya perselisihan akan hal ini masyhur akan tetapi yang berkata hal ini sedikit. Ibnu Abdil Bar dan Ibnul Arabi berkata: Yang berpendapat mewajibkan antara lain Umar bin Abdul Aziz. Dan dari sebagian Ulama Maliki, mereka berkata: Jika janji itu berkaitan dengan sebab tertentu maka wajiblah dipenuhi dan jika tidak maka tidak wajib.” (Fathul Bari, Jilid 5 hal. 290)

            Melihat perkataan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa mengenai hukum menepati janji itu para ulama terbagi menjadi tiga pendapat, yaitu wajib secara mutlak, wajib jika ada sebab tertentu dan mustahab.

1.       Menepati janji adalah wajib secara mutlak dan jika diingkari maka berdosa

Ulama yang menyatakan bahwa janji itu wajib ditepati secara mutlak dan jika diingkari maka berdosa antara lain Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah dan Imam Ishaq bin Rahawiyah rahimahullah serta ulama-ulama dari Madzhab Zhahiriyah. Nash-nash yang melandasi pendapat ini antara lain:

·         Firman Allah subhanahu wa ta’ala:

يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.” (QS. Al-Maidah [5] : 1)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (QS. Ash-Shaf [61] : 2)

·         Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Tanda orang munafik itu ada tiga: apabila dia berucap dia berdusta, apabila membuat janji dia mengingkari, dan apabila diamanahi dia mengkhianati.” (HR Al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 59)

أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا: إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ

“Ada empat perkara, barangsiapa yang empat perkara itu semuanya ada di dalam dirinya, maka orang itu adalah seorang munafik yang murni dan barangsiapa yang di dalam dirinya ada satu perkara dari empat perkara tersebut, maka orang itu memiliki pula satu macam perkara dari kemunafikan sehingga ia meninggalkannya, yaitu: dan apabila diamanahi dia mengkhianati apabila dia berucap dia berdusta, apabila membuat janji dia mengingkari dan apabila bertengkar maka ia berbuat kecurangan.” (HR. Al-Bukhari no. 34 dan Muslim no. 58)

            Mengenai hadits diatas, Imam Al-Ghazali rahimahullah berkata:

و هذا ينزل على من وعد و هو على عزم الخلف أو ترك الوفاء من غير عذر فأما من عزم على الوفاء فعن له عذر منعه من الوفاء لم يكن منافقا و إن جرى عليه ما هو على صورة النفاق

“Hadits ini ditujukan kepada seseorang yang berjanji dan ia berniat untuk mengingkari atau dia meninggalkan janji tanpa udzur, adapun seseorang yg berniat menepatinya akan tetapi dia tidak bisa menepatinya karena suatu udzur, maka dia tidak termasuk atas gambaran seorang munafik.” (Ihya’ Ulumuddin, Jilid 3 hal. 130)

لَا تُمَارِ أَخَاكَ وَلَا تُمَازِحْهُ وَلَا تَعِدْهُ مَوْعِدًا فَتُخْلِفَهُ

“Janganlah membantah saudaramu, jangan bergurau dengannya dan jangan pula engkau menjanjikannya suatu janji lalu engkau mengingkarinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1918)

            Ulama yang berpendapat wajib dalam menepati janji menjelaskan, jika seseorang tidak menepati janji pada waktu yang sudah ditentukan sebelumnya maka seseorang tersebut harus menepati janjinya di waktu yang lain sesuai dengan kesepakatan ulang antara orang yang berjanji dan yang diberi janji. Jika dalam perjanjian tidak ditentukan waktunya, maka tak ada batas waktu dalam memenuhi janji tersebut.

2.       Menepati janji adalah wajib jika ada sebab-sebab tertentu yang membuatnya menjadi wajib

Mazhab Maliki berpendapat wajib dan sunnah tergantung konteks: apabila orang yang diberi janji itu akan mendapat kemudaratan apabila janji tidak dipenuhi, maka wajib dipenuhi janjinya. Apabila tidak berbahaya bagi yang diberi janji, maka tidak wajib menepatinya, dan menjadi sunnah.

3.       Menepati Janji adalah mustahab dan mengingkari janji adalah makruh

Tiga mazhab fikih yaitu Hanafi, Syafi'i dan Hanbali dan sebagian dari mazhab Maliki berpendapat bahwa menepati janji hukumnya mustahab dan tidak wajib. Ingkar janji hukumnya makruh. Dengan demikian dalil-dalil tentang motivasi memenuhi janji dan ancaman bagi pelanggar janji dianggap sebagai himbauan menurut jumhur ulama. Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi rahimahullah dalam Kitab Al-Adzkar berkata:

قد أجمع العلماء على أن من وعد إنساناً شيئاً ليس بمنهي عنه، فينبغي أن يفي بوعده، وهل ذلك واجب أم مستحب؟ فيه خلاف بينهم، ذهب الشافعي وأبو حنيفة والجمهور إلى أنه مستحب، فلو تركه فاته الفضل، وارتكب المكروه كراهة شديدة، ولكن لا يأثم

“Sesungguhnya para ulama bersepakat bahwa barangsiapa berjanji dengan seseorang dalam perkara apapun yang tidak terlarang, maka dianjurkan baginya untuk menepati janjinya. Namun apakah hukum menepati janji itu wajib atau sekedar mustahab (sunnah)? Padanya terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Asy-Syafi'i, Abu Hanifah dan jumhur ulama menyatakan bahwa hukumnya mustahab (sunnah). Maka jika seseorang tidak menepati janjinya maka telah terlewat darinya satu keutamaan dan dia telah melakukan perkara makruh yang berat, namun tidak berdosa.” (Al-Adzkar, hal. 317)

Nash-nash yang melandasi pendapat ini adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Quran mengenai pujian-pujian Allah subhanahu wa ta’ala kepada para rasul:

وَإِبْرَاهِيمَ الَّذِي وَفَّىٰ


“Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?” (QS. An-Najm [53] : 37)

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam [19] : 54)

            Selain itu, alasan lain yang digunakan oleh jumhur ulama dalam menghukumi mustahab mengenai hal ini adalah karena tidak ada dalil yang menjelaskan mengenai kafarat jika mengingkari janji dan hal inilah yang membedakan antara janji dengan nazar dan sumpah. Juga tak ada dalil yang menjelaskan mengenai hukuman bagi seseorang yang ingkar janji baik di akhirat maupun di dunia berupa hukum had.

Tarjih

            Apakah ingkar janji itu berdosa? Sebagaimana uraian diatas serta pendapat jumhur ulama Ahlussunnah wal Jama’ah, maka jawabnya adalah tidak berdosa karena nash-nash yang membicarakan mengenai hal ini bersifat himbauan dan dalam kaedah ushul fiqih suatu perintah (amru) yang bersifat himbauan maka hukumnya adalah mustahab (sunnah). Sifat himbauan adalah berisi anjuran serta fadhilah jika meaksanakan atau meninggalkannya dan sebaliknya tak ada dalil yang menunjukan hal tersebut berdosa dimana ada ancaman di akhirat atau berupa hudud bagi yang melanggar atau kafarat bagi yang melanggar namun hendak bertaubat. Akan tetapi perlu diperhatikan juga dari segi yang lain yaitu dusta, maka dalam segi kedustaan maka hukumnya berdosa.

Memenuhi janji merupakan sebuah kebaikan dan merupakan akhlak yang terpuji. Dengan memenuhi janji, maka akan semakin bertambah derajat ketakwaan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala serta bertambah pula integritas serta kepercayaan kepada pemberi janji. Sebaliknya, dengan ingkar janji maka akan membuat reputasi seseorang menjadi buruk, bahkan bisa menjadi bahan pergunjingan serta hilangnya rasa kepercayaan kepada si pemberi janji, selain itu seseorang yang telah ingkar janji maka telah ada salah satu tanda kemunafikan dalam dirinya, dimana jika hal tersebut terus dilakukan maka seseorang akan semakin menjerumuskan dirinya dalam kebinasaan. Wallahu a’lam. Semoga bermanfaat.


سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

http://www.sharingseputarislam.com/2017/03/hukum-menepati-janji.html







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sastra Abbasiyah

SASTRA ABBASIYAH 1 DAN 2 SERTA KARAKTERISTIKNYA Pada masa Abbasiyah geliat intelektual dan perkembangan peradaban Islam mencapai puncaknya termasuk kajian tentang sastra pada masa ini juga mengalami perkembangan. Bahasa pada masa ini mengalami kemundurn karena asimilasi bangsa Arab dengan ajam yang berpengaruh terhadap kualitas kebahasaan serta sering terjadi kesalahan bahasa. Perluasan wilayah kajian sastra yang tidak hanya pada wilayah syair tetapi juga prosa sehingga memunculkan karya-karya novel, buku-buku sastra, riwayat dan hikayat, serta munculnya genre baru النثرالتجديدي . Kata Kunci : Sastra Abbasiyah, Puisi Abbasiyah 1 dan 2   I.             PENDAHULUAN Al-Iskandary menyatakan bahwa kesusastraan bahasa setiap umat adalah segala prosa dan puisi yang dihasilkan oleh pikiran putra bangsa yang menggambarkan watak dan kebiasaan, daya khayal serta batas kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa yang bertujuan men...

Teori Super

Teori Perkembangan Karir Anak (Teori Super) BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Menurut Donald E. Super (Dewa. K.S, 1987:65) bahwa kematangan bekerja dan konsep diri ( selft-concept ) merupakan dua proses perkembangan yang berhubungan. Maksudnya adalah bahwa tingkat kematagan bekerja itu saling berhubungan. Apabila konsep diri seseorang itu baik, maka kematangan kerjanya pun juga baik. Dalam perkembangan anak-anak ada pula pekerjaan yang disesuaikan dengan umur dan tingkat dengan kematangan emosinya. Yang mana dalam teori super terdapat 6 fase perkembangan karir pada manusia. Salah satunya adalah fase Growth .   Dalam fase ini dijelaskan bahwa terhitung sejak anak lahir sampai lebih kurang umur 15 tahun. Pada fase ini anak sedang mengembangkan berbagai poten, pandangan khas, sikap, minat dan kebutuhan-kebutuhan yang dipadukan dalam struktrur gambaran diri. Jadi untuk lebih mengetahui lebih lanjut tentang perkembangan karir pada anak-anak maka kami...