PEREMPUAN DALAM PANDANGAN PENEGAK HUKUM
Untuk dapat mengatakan apakah proses
penegakan hukum terhadap perempuan sudah perperspektif pempuannya, tidak cukup
hanya melihat pada substansi hukumnya saja. Mengapa? Karena bagaimana
pasal-pasal mendefisinikan kejahatan seksual dan bagaimana pasal-pasal tersebut
meng-aturnya, masih menyimpan persoalan. Selain itu, penerapan pidana dari
suatu pasal terhadap kasus kejahatan yang dilakukan laki-laki dapat membawa
efek yang berbeda apabila penerapan pidana tersebut dijatuhkan kepada
perempuan. Oleh karena itu, mengamati bagaimana para pelaksana hukum menegakkan
hukum dalam proses peradilan berkaitan dengan kasus-kasus perempuan menjadi
penting juga.
Dalam hal ini akan dikemukakakn pengamatan
terhadap pemahaman para penegak hukum dalam melaksanakan hukum material dan
hukum acara dan bagaimana para penegak hukum menerjemahkan unsur-unsur dari suatu
peraturan atau pasal. Dari pengamatan terhadap pemahaman dan penerjemahan
tersebut dapat dilihat ada atau tidaknya perspektif keadilan bagi perempuan.
Kemudian penting juga untuk diamati, perilaku para penegak hukum ini dalam
menangani kasus-kasus hukum perempuan.
1.
KASUS PEMBUANGAN BAYI
Yani,
23 tahun, karyawati di sebuah perusahaan swasta, melahirkan seorang anak. Anak
ini merupakan hasil hubungan yani dengan suami kakaknya yang tinggal serumah
dengan yani. Akibat merasa malu karena harus melahirkan bayinya membuang bayi
tersebut.
Peristiwa ini terjadi pada hari Selasa
tanggal 28 Desember 2004 sekitar pukul 22.00 WIB. Yani merasa perutnya mulas
seperti ingin buang air besar. Perempuan ini segera bergegas menuju WC umum,
dan di tempat itu ia buang air besar. Akan tetapi tanpa disangka, setelah ia
selesai ia buang air besar, jabang bayi menyusul keluar. Oleh yani jabang bayi
tersebut dibersihkan dan diputuskan tali pusarnya dengan kedua tangannya. Bayi
kemuadian dibungkus dengan kaos berwarna biru yang tergantung di WC umum itu.
Yani merasa takut, malu, dan panik, maka ia meletakkan jabang bayi itu di
semak-semak dekat tempat pembuangan sampah yang terletak di depan WC umum.
Setelah melakukan rangkaian perbuatan tersebut, Yani bergegas pulang ke rumah.
Bayi itu kemudian ditemukkan warga yang
penasaran mendengar suara tangisan bayi di malam hari. Warga kemudian
melaporkan penemuan bayi itu kepada polisi. Pihak berwajib segera melakukan
pemeriksaan dan penangkapan terhadap yani.
1.
Latar Belakang Kehidupan Perempuan Pelaku Tindak Pidana
·
Yani (Kasus Pembuangan atau penelantaran bayi)
Yani,
terdakwa dalam kasus pembuangan atau penelantaran bayi, lulusan SLTA dan
berumur 23 tahun. Bekerja sebagai karyawati di sebuah perusahaan swasta.
Perempuan kelahiran tahun 1982 ini menetap di Jakarta, di Jl. Y kelurahan Rawa
Buaya, kecamatan cengkareng, Jakarta Barat. Yani tinggal bersama kakak
perempuannya dan kakak perempuannya telah menikah. Seiring perjalanan waktu,
tanpa dapat diketahui siapa yang memulai, Yani dan kakak iparnya terlibat
hubungan asmara yang pada akhirnya mengakibatkan kehamilan pada diri Yani.
2.
Bentuk Tindak Pidana dan Motif
Yani dalam kasus ini bentuk kejahatan yang
dilakukan yani adalah membuang bayinya. Untunglah bayi itu masih hidup dan
alasan Yani membuang bayinya adalah karena ia merasa panik dan malu karena
melahirkan tanpa suami. Bayi itu adalah hasil hubungan gelap dengan kakak
iparnya.
Secara ekonomis Yani sebelum melahirkan
memang memiliki penghasilan sendiri. Akan tetapi apabila ia melahirkan dan
punya anak, praktis tidak dapat bekerja, maka ia akan bergantung dengan
kakaknya. Maka ia juga akan merasa tidak mampu merawat bayinya itu.
Motif perbuatan Yani lebih karena rasa malu
akibat hamil dan melahirkan di luar nikah. Ada juga ketakutan tidak memiliki
kemampuan materi untuk membesarkan anak.
3.
Sikap dan Strategi Perempuan Pelaku Tindak Pidana
Yani dalam kasus ini tidak melakukan
strategi pembelaan apapun. Bahkan ketika kakak iparnya yang menghamili Yani
dihadapkan dalam persidangan Yani tidak memberikan komentar atau penjelasan mengapa
ia sampai hamil dengan laki-laki tersebut. Yani hanya membenarkan apa yang
dikemukakan hakim di depan sidang dengan mengangguk atau memberikan jawaban
lirih.
Hakim menyuruh Yani dengan kalimat berikut,
“Yani, kamu jawabnya yang jelas, jangan hanya mengangguk saja!”. Yani menjawab
lirih bahwa dirinya mendengar dengan jelas dakwaan tersebut sambil tetap
menganggukkan kepalanya.
4.
Pasal-Pasal Landasan Penyidikan
Yani
terhadap perbuatan Yani membuang atau menelantarkan bayinya dikenakan sanksi
pidana yang diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:
Primair
: Pasal 305 jo pasal 307 KUHP
Ø Pasal 305
Barang siapa menempatkan anak belum berusia 7 (tujuh)
tahun untuk ditemukan, atau meninggalkan anak itu dengan maksud untuk
melepaskan diri darinya diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (tahun).
Ø Pasal 307
Jika yang melakukan kejahatan tersebut pada pasal 305
atau 306 adalah Bapak atau Ibu anak itu, maka pidana dalam pasal 305 atau 306
ditambah 1/3.
Subsidiair
: Pasal 308 KUHP
Ø Pasal 308
Jika seorang Ibu karena takut diketahui orang lain tidak
lama setelah melahirkan menempatkan anak untuk ditemukan atau meninggalkan
anak, itu dengan maksud untuk melepaskan diri darinya, maka maksimum pidana
dalam pasal 305 atau 306 dikurangi 1/2.
Ketiga pasal ini saling berkaitan. Pasal 305
KUHP merupakan pidana pokok, sedangkan pasal 307 KUHP mengandung alasan
pemberat. Pasal 308 KUHP mengandung alasan peringan. Pada waktu pemeriksaan,
belum dapat dibuktikan alasan Yani meninggalkan anaknya itu karena panik hamil
di luar nikah. Jadi, rangkaian pasal ini dipergunakan.
5.
Sikap JPU terhadap Pelaku
Dalam kasus Yani ini JPU menyiapkan dakwaan
dengan teliti. Akan tetapi kembali mengherankan bahwa dalam kasus-kasus
pembuangan bayi akibat hubungan gelap, para laki-laki yang sebetulnya turut
serta dalam proses pembuahan dan kehamilan, selalu lolos dari jeratan hukum.
Atau setidaknya, tidak pernah dianggap ikut bertanggung jawab dalam perbuatan
tersebut.
JPU tidak melakukan perbuatan yang tidak
sopan atau mencela terdakwa dalam persidangan. Demikian juga halnya dengan
perlakuan JPU terhadap para saksi. Akan tetapi dalam persidangan JPU sempat
menerima panggilan dan berbicara lewat ponselnya. Apakah dalam melaksanakan
tugas yang begitu penting di dalam suatu bidang, JPU secara etika diperkenankan
menerima telpon?
JPU dalam kasus ini memang sebetulnya tidak
menjawab panggilan telpon pada awalnya. Akan tetapi, hakim malah menyuruh JPU
menjawab panggilan tersebut. Bagaimana dengan kode etik (hakim) dalam sidang
pengadilan.
6.
Pasal yang Dijadikan Dasar Dakwaan JPU
Dalam bagian ini dikemukakan pasal-pasal yang menjadi
landasan dakwaan JPU. Selain itu, disertakan juga alasan-alasan JPU mengapa
menggunakan pasal-pasal tersebut. Tentu saja hanya JPU yang dapat diwawancarai
di luar ruang sidang yang dapat dikemukakan alasan-alasannya tersebut.
Dalam kasus Yani, JPU mendakwakan
pasal-pasal berikut kepada terdakwa.
a. Primair : Pasal 305 jo 307 KUHP
b. Subsidiair : Pasal 308
Dalam
kasus Yani, JPU mengajukan dakwaan berkaitan dengan upaya Yani sebagai Ibu
meninggalkan anaknya yang baru dilahirkan karena takut diketahui orang lain.
7.
Pengetahuan Jaksa tentang Kekerasan dan Gender
Dari kasus-kasus yang dipantau, terdapat kesulitan
menemukan JPU yang berperspektif gender sekalipun JPU tersebut perempuan.
Memang ada bebrapa JPU yang sudah berperspektif korban. Akan tetapi, hal
tersebut lebih didasarkan alasan kemanusiaan, bukan karena yang bersangkutan
sudah memiliki sensitivitas gender.
Dalam kasus Yani JPU justru menghadirkan
Snm, kakak ipar terdakwa Yani menjadi saksi yang memberatkan. Padahal Snmlah
yang telah mengakibatkan Yani hamil. Dalm hal ini jelas bahwa JPU masih belum
sensitif gender karena masih memandang bahwa kehamilan adalah tanggung jawab
satu pihak saja, yaitu perempuan dan bahwa perbuatan Yani adalah semata-mata
tanggung jawab Yani saja.
8.
Pemahaman Hakim tentang Kekerasan dan Gender
Dalam kasus Yani, hakim tidak sensitif
gender karena mengajukan pertanyaan seputar berapa lama terdakwa berhubungan
dengan kakak iparnya tanpa menjelaskan latar belakang atau tujuan pertanyaan
tersebut. Bahkan hakim menanyakan siapa di antara terdakwa dan laki-laki itu
yang memulai hubungan lebih dahulu (Tanya jawab hakim dengan terdakwa di ruang
sidang, senin, 21 Maret 2005)
9.
Putusan Hakim
Putusan yang dijatuhkan hakim, seharusnya merupakan hasil
proses persidangan. Namun bisa terjadi kondisi-kondisi yang terungkap dalam
persidangan, ternyata tidak menjadi bahan pertimbangan hakim untuk membuat
keputusan. Dapat terjadi, hakim dalam persidangan menunjukkan rasa simpati
kepada korban ataupun penggugat. Akan tetapi, hasil putusannya tidak dapat
memberikan keadilan atau kurang mewakili kepentingan korban atau penggugat.
Dalam kasus Yani, hakim akhirnya
menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara dipotong masa tahanan. Yani menerima saja
hukuman ini. Adapun putusan hakim didasarkan pada pasal-pasal berikut :
a. Primair : pasal 305 KUHP jo. Pasal 307 KUHP tentang
penelantaran anak
b. Subsidair : Pasal 308 KUHP 1 tahun potong masa tahanan.
Patut dicatat bahwa hakim sama sekali tidak
menggali fakta bahwa Yani hamil karena perbuatan suami kakaknya. Hakim justru
menanyakan siapa yang memiliki inisiatif memulai hubungan gelap, padahal
pertanyaan tersebut tidak relevan dan mengandung asumsi hakim bahwa hubungan itu
didasarkan suka sama suka.
Komentar
Posting Komentar