GENDER
A. Definisi Gender
Kata
Gender berasal dari bahasa
Inggris, berarti jenis kelamin. Dalam Webster’s New World, gender diartikan
sebagai ”perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi
nilai dan tingkah laku”. Sedangkan dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan
bahwa gender adalah ”suatu konsep kultural yang berupaya membuat
pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat”. “Gender merujuk pada peranan dan tanggung
jawab laki-laki dan perempuan yang diciptakan dalam keluarga, masyarakat dan
budaya”( UNESCO, 2007). Begitu pula pemahaman konsep gender menurut HT.Wilson
(1998) yang memandang gender sebagai ”suatu dasar untuk menentukan perbedaan
sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang
sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan”.
Santrock
(2003: 365) mengemukakan bahwa istilah gender dan seks memiliki perbedaan
dari segi dimensi. Isilah seks (jenis kelamin) mengacu pada dimensi biologis
seorang laki-laki dan perempuan, sedangkan gender mengacu pada dimensi
sosial-budaya seorang laki-laki dan perempuan. Baron (2000: 188) mengartikan
bahwa gender merupakan sebagian dari konsep diri yang melibatkan identifikasi individu
sebagai seorang laki-laki atau perempuan.
Nilai-nilai tersebut
menentukan peranan perempuan dan
laki-laki dalam kehidupan
pribadi dan dalam
setiap bidang masyarakat (Kantor
Men. UPW, 1997).
Secara sederhana dapat
dinyatakan bahwa gender adalah
perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan karena konstruksi
sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya. Dengan sendirinya gender dapat
berubah dari waktu ke
waktu sesuai kontruksi masyarakat yang
bersangkutan tentang posisi peran laki-laki dan perempuan.
B. Primitive Culture ( harapan budaya
terhadap wanita )
Kebudayaan berasal dari bahasa
Sansekerta budahaya, jamak dari buddhi. Yang berarti budi/ akal.
Sehingga kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal/penggunaan
rasio. Bentuknya dapat berupa cipta, rasa karsa. Dalam bahasa Inggris
kita mengenal culture yang artinya sama dengan kebudayaan yang berasal
daribagasa latin colere; mengerjakan, terutama mengolah tanah, atua berarti
alam.
E.B Tylor (sejarawan) Inggris
dalam “Primitive Culture” mengemukakan kebudayaan adalah
merupakan keseluruhan kompleks, yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan,
kepercayaan, kesenian moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan lain serta
kebiasaan yang di dapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Sedangkan Prof. Dr. Koentjaraningrat menegaskan bahwa kebudayaan; “Sebagai
keseluruhan manusisa dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata
kelakuan yang harus didaptnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam
kehidupan masyarakat”. (Noto Widagdo, 2002).
Pada
setiap kebudayaan perempuan dan laki-laki di beri peran dan pola tingkah laku
yang berbeda untuk saling melengkapi perbedaan badaniah dari kedua makhluk ini
pembagian peran ini berfungsi melengkapi kekurangan kedua jenis manusia ini,
supaya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat dapat dipecahkan dengan cara
yang lebih baik (Elvi Ria, 2003). Kondisi yang telah menempatkan
kaum perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan di atas telah juga melahirkan
berbagai bentuk ketidakadilan gender (gender inequalities) yang termanifestasi
antara lain dalam bentuk:
1. Marginalisasi
Proses
marginalisasi, yang merupakan proses pemiskinan terhadap perempuan, terjadi
sejak di dalam rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga
laki-laki dengan anggota keluarga perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh
adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya, banyak diantara suku-suku di
Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris
sama sekali atau hanya mendapatkan separuh dari jumlah yang diperoleh kaum
laki-laki.
Demikian
juga dengan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan, berbeda antara laki-laki dan
perempuan, yang akibatnya juga melahirkan perbedaan jumlah pendapatan antara
laki-laki dan perempuan. Seorang perempuan yang bekerja sepanjang hari di dalam
rumah, tidaklah dianggap “bekerja” karena pekerjaan yang dilakukannya,
seberapapun banyaknya, dianggap tidak produktif secara ekonomis. Namun
seandainya seorang perempuan “bekerja” pun (dalam arti di sektor publik) maka
penghasilannya hanya dapat dikategorikan sebagai penghasilan tambahan saja
sebagai penghasilan seorang suami tetap yang utama, sehingga dari segi nominal
pun perempuan lebih sering mendapatkan jumlah yang lebih kecil daripada kaum
laki-laki.
2. Subordinasi
Pandangan
berlandaskan gender juga ternyata bisa mengakibatkan subordinasi terhadap
perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional berakibat
munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.
Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang
berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Salah satu konsekuensi dari posisi
subordinat perempuan ini adalah perkembangan keutamaan atas anak laki-laki. Seorang
perempuan yang melahirkan bayi laki-laki akan lebih dihargai daripada seorang
perempuan yang hanya melahirkan bayi perempuan. Demikian juga dengan bayi-bayi
yang baru lahir tersebut. Kelahiran seorang bayi laki-laki akan disambut dengan
kemeriahan yang lebih besar dibanding dengan kelahiran seorang bayi perempuan.
Subordinasi juga muncul dalam bentuk kekerasan yang menimpa kaum perempuan.
Kekerasan yang menimpa kaum perempuan termanifestasi dalam berbagai wujudnya, seperti perkosaan,
pemukulan, pemotongan organ intim perempuan (penyunatan) dan pembuatan
pornografi.
Hubungan
subordinasi dengan kekerasan tersebut karena perempuan dilihat sebagai objek
untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu
dengan hak atas tubuh dan kehidupannya. (Mosse, 1996:76). Anggapan bahwa
perempuan itu lebih lemah atau ada di bawah kaum laki-laki juga sejalan dengan
pendapat teori nature yang sudah ada sejak permulaan lahirnya filsafat di dunia
Barat. Teori ini beranggapan bahwa sudah menjadi “kodrat” (sic!) wanita untuk
menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung kepada laki-laki dalam banyak hal
untuk hidupnya. (Budiman, 1985: 6) Bahkan Aristoteles mengatakan bahwa wanita
adalah laki-laki – yang – tidak lengakap. (Ibid.)
C. Gender sebagai alat analisis
Analisis gender adalah suatu metode
atau alat untuk mendeteksi kesenjangan atau disparitas gender melalui
penyediaan data dan fakta serta informasi tentang gender yaitu data yang
terpilah antara laki-laki dan perempuan dalam aspek akses, peran, kontrol dan
manfaat. Analisis gender dapat disimpulkan sebagai suatu proses menganalisis
data dan informasi secara sistematis tentang laki-laki dan perempuan untuk
mengidentifikasi dan mengungkapkan kedudukan, fungsi, peran dan tanggung jawab
laki-laki dan perempuan, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Syarat utama terlaksananya analisis
gender adalah tersedianya data terpilah berdasarkan jenis kelamin. Data
terpilah adalah nilai dari variabel-variabel yang sudah terpilah antara
laki-laki dan perempuan berdasarkan topik bahasan/hal-hal yang menjadi
perhatian. Data terdiri atas data kuantitatif (nilai variabel yang terukur,
biasanya berupa numerik) dan data kualitatif (nilai variabel yang tidak terukur
dan sering disebut atribut, biasanya berupa informasi) (Puspitawati, 2012).
Kerangka analisis perencanaan gender
atau disingkat kerangka analisis gender merupakan upaya untuk menerjemahkan
ide-ide dari analisis gender yang “akademis” serta “konseptual” ke dalam
kerja-kerja dan panduan untuk para praktisi LSM, pekerja-pekerja pembangunan,
relief dan perencanaan rekonstruksi (Lassa, 2010).
Analisis gender merupakan alat dan
teknik yang tepat untuk mengetahui apakah ada permasalahan gender atau tidak
dengan cara mengetahui disparitas gendernya. Analisis gender diharapkan dapat
mengidentifikasi dan menganalisis kesenjangan gender secara tepat sehingga
dapat ditemukan faktor-faktor penyebabnya serta langkah-langkah pemecahan
masalahnya. Analisis gender sangat penting khususnya bagi para pengambil
keputusan dan perencanaan serta para peneliti akademisi, karena dengan analisis
gender diharapkan masalah gender dapat diatasi atau dipersempit sehingga
program yang berwawasan gender dapat diwujudkan. Secara terinci analisis gender
sangat penting manfaatnya, karena:
Membuka wawasan dalam memahami suatu
kesenjangan gender di daerah pada berbagai bidang, dengan menggunakan analisis
baik secara kuantitatif maupun kualitatif.Melalui analisis gender yang tepat,
diharapkan dapat memberikan gambaran secara garis besar atau bahkan secara
detil keadaan secara obyektif dan sesuai dengan kebenaran yang ada serta dapat
dimengerti secara universal oleh berbagai pihak. Analisis gender dapat
menemukan akar permasalahan yang melatarbelakangi masalah kesenjangan gender
dan sekaligus dapat menemukan solusi yang tepat sasaran sesuai dengan tingkat
permasalahannya (Puspitawati, 2012).
D. Gerakan Fenimisme
Fenimisme
adalah sebuah gerakan perempuan
yang menuntut emansipasi
atau kesamaan dan keadilan hak
dengan pria.
Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan. Istilah ini mulai
digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan
perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan. Sekarang ini
kepustakaan internasional mendefinisikannya sebagai pembedaan terhadap hak hak
perempuan yang didasarkan pada kesetaraan perempuan dan laki laki. Gerakan
feminis dimulai sejak akhir abad ke- 18, namun diakhiri abad ke-20, suara
wanita di bidang hukum, khususnya teori hukum, muncul dan berarti. Hukum feminis
yang dilandasi sosiologi feminis,
filsafat feminis
dan sejarah feminis
merupakan perluasan perhatian wanita dikemudian hari. Di akhir abad 20, gerakan
feminis banyak dipandang sebagai sempalan gerakan Critical Legal Studies, yang
pada intinya banyak memberikan kritik terhadap logika hukum yang selama ini
digunakan, sifat manipulatif dan ketergantungan hukum terhadap politik,
ekonomi, peranan hukum dalam membentuk pola hubungan sosial, dan pembentukan
hierarki oleh ketentuan hukum secara tidak mendasar.
Gerakan
perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada
perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak
mengalami halangan. Pada tahun 1967
dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan
konvensi nasional di Ann Arbor
kemudian dilanjutkan di Chicago
pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme radikal" dengan membentuk
Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan
"Women´s Lib". Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam
hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika
Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Pada tahun 1968
kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya "Miss America
Pegeant" di Atlantic City
yang mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan
komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini
kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia..
KKKESIMPULAN
Seks
adalah karakteristik biologis seseorang yang melekat sejak lahir dan tidak bisa
diubah kecuali dengan operasi. Alat-alat tersebut menjadi dasar seseorang
dikenali jenis kelaminnya sebagain perempuan atau laki-laki.
Definisi gender sebagai “ the significance a society
attaches to biological cathegories of female and male”, yaitu arti penting yang
diberikan masyarakat pada kategori biologis laki-laki dan perempuan.
Ada
beberapa sub bahasan dalam makalah ini, antara lain: gender dan sosialisasi,
gender dan stratifikasi, gender dan pendidikan, gender dan pekerjaan, gender
dalam kesehatan.
Perspektif gender di
indonesia terlihat dari masih tingginya angka kematian ibu (AKI) karena
lemahnya posisi tawar wanita dalam kesehatan reproduksi, mencakup: hak untuk
mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi, hak menentukan kapan dan
jarak antar kehamilan/ kelahiran yang aman, menentukan jumlah anak, hak
pelayanan keluraga berencana, dst.
Daftar
Pustaka
Adzun. 2012. Gender dalam perspektif budaya. http://teotadzun.blogspot.co.id/2012/06/gender-dalam-perspektif-budaya.html . (di akses pada 3
april 2017)
Baron, A.R. 2000. Psikologi sosial. Alih bahasa Ratna
Juwita. Bandung: khazanah intelektual.
Budiman, A. 1985. Pembagian kerja secara seksual. Jakarta:
PT Gramedia.
Dimas,
S. 2012. Definisi gender. http://definisimu.blogspot.co.id/2012/11/definisi-gender.html. ( di akses pada 3
april 2017)
Koentjaraningrat,
1958, Metode antropologi. ichtisar dari
metode-metode antropologi dalam penjelidikan masyarakat dan kebudayaan
indonesia,Djakarta; Penerbitan Universitas.
Kantor menteri
negara UPW. 1997. Petunjuk penyusunan
perencanaan pembangunan berwawasan kemitrasejajaran dengan pendekatan jender.Jakarta:
Kantor Men.UPW.
Lassa, J.A. 2010. Kerangka analisis perencanaan Gender
(Gender Planning Frameworks).
Mosse, J.C. 1996.
Gender & pembangunan (terj. Hartian Silawati).Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Puspitawati, H. 2012. Gender
dan keluarga: konsep dan realita di Indonesia. PT IPB Press. Bogor.
Ria, alvy.2003.makalah Laki-laki
dan Perempuan dalam Kehidupan Sosial dilihat dari Perspektif Gender.
Rosemarie,
T. 1997. Feminist thought : a
comprehensive introduction. USA : Westview Press
Santrock, W. J. 2003. Adolecent,
perkembangan remaja. Jakarta: Erlangga.
Sarjanaku. 2012. Pengertian gender menurut para ahli. http://www.sarjanaku.com/2012/06/pengertian-gender-menurut-para-ahli.html . ( di akses pada 3
april 2017)
Tylor, E.B., 1871,
Primitive culture, London; John
Murray Albemarle street
UNESCO. (2005).
Gender sensitive education statistics and indicators: a practical guide: united nations educational, scientific, and cultural
organization (UNESCO).
Widagdo, N.2003.
Makalah ilmu budaya dasar berdasarkan al-qur’an & al-hadist.Raja
Grafindo Persada.
Wilson, H.T. 1989,
Sex and
Gender: making cultural
sense of civilization. BRILL.
Komentar
Posting Komentar